Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa
beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
(Ditulis oleh Sukmawati Soekarno Putri)
Beberapa waktu
terakhir ini, puisi Sukmawati Soekarno Putri berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan di acara perhelatan 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di ajang Indonesia Fashion Week 2018, menuai banyak kontoversi.
Karena dinilai karya tersebut secara terang-terangan telah melecehkan Islam.
Apakah sebuah
karya sastra seperti puisi merupakan alat propaganda yang pantas digunakan
untuk menyakiti suatu kaum? Apakah ini yang disebut suara kebenaran?
Saya kemudian
teringat tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Apakah ini yang
disebut usaha ‘bicara’ dalam sastra? Usaha
untuk menyampaikan pendapat yang tidak dapat diutarakan secara eksplisit? Usaha
menunjukkan kebenaran pada publik?
Apa sih ukuran
kebenaran itu? Seberapa jauh jaraknya dengan ukuran kesalahan? Apakah ada jarak
yang jelas di antara keduanya atau mungkinkah keduanya bisa dikaburkan dan
malah disatukan dalam sebuah perspektif? Sehingga publik pun menerimanya
sebagai sebuah sudut pandang kebenaran?
Puisi Sukmawati
Soekarno Putri yang menempatkan syariat Islam di bawah nasionalisme keindonesiaan
sebenarnya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Apabila dia mau
mencermati sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga
seyogyanya dia harus memahami bahwa nasionalisme keindonesiaan menjunjung
tinggi nilai ketuhanan. Menghormati setinggi-tingginya aturan apapun yang
dianut sebuah agama yang diakui di Indonesia dan bukan sebaliknya.
Jadi, apakah
ini kebenaran? Atau kebenaran itu sendiri sebenarnya terbagi lagi dalam
bagian-bagian tersendiri, seperti kebenaran yang tercampur dengan kesalahan, kebenaran
yang tercampur dengan ketidaktahuan, atau kebenaran yang berdiri dengan
sendirinya sebagai sebuah kebenaran hakiki?
Karena apabila memperhatikan
cara pandang Sukmawati, puisinya tidak mengandung kebenaran hakiki. Cara
pandangnya bertentangan dengan nilai utama perspektifnya sendiri. Suatu hal
yang rancu sebenarnya yang dia lakukan. Dia sekaligus mengatakan saya
nasionalisme tetapi tidak nasionlaisme. Sehingga kemudian saya dapat mengatakan
bahwa kebenaran yang diutarakan Sukmawati adalah kebenaran subjektif. Tetapi pantaskah
dalam sastra menyampaikan kebenaran subjektif?
Edward de Vere-17TH
The Earl of Oxford yang diduga merupakan William Shakespeare dalam sebuah film
berjudul Anonymous, mengatakan bahwa all art is political and all artist have
something to say. Jadi sastra atau seni itu hanyalah sebuah alat saja.
Esensi dalam sastra itulah yang terpenting. Sehingga menurut Edward de Vere,
sastra harus mempunyai kandungan tertentu yang ingin disampaikan penulis.
Sukmawati memenuhi hal itu, dia menyampaikan cara pandang politiknya melalui
balutan puisi.
Sebuah
kesalahan?
Bisa jadi iya, bisa
jadi tidak. Kalau mengikuti pendapat Edward de Vere secara umum, apa yang
dilakukan Sukmawati adalah sah-sah saja dan dapat dibenarkan. Tetapi, para seniman
meyakini bahwa karya sastra merupakan benda suci yang terbebas dari
kepentingan-kepentingan politik. Sehingga tindakan Sukmawati terhadap puisi dianggap
telah mencederai makna positif dari karya sastra. Karya sastra yang telah lama
diagung-agungkan sebagai media untuk memperjuangkan suara bagi pihak-pihak
tertindas, terintimidasi, dan termarginalkan telah berhasil digeser Sukmawati ke
arah sebaliknya. Dan di sinilah letak kesalahannya. Sukmawati telah memperalat
puisi untuk menyampaikan kebenaran subjektif. Sukmawati telah melakukan
politisasi pada puisi.
Apakah ini adil?
Tidak. Seharusnya
sastra tidak saja merupakan alat untuk menyampaikan kebenaran. Tetapi lebih
tepatnya menyampaikan kebenaran hakiki, universal, sejati dan objektif.
0 comments:
Post a Comment