Sunday, April 19, 2015

Balakosa (Bagian 1)

Namaku. Tidak ada. Aku tanpa nama. Aku dari langit dan diturunkan ke bumi bersama bulir-bulir air hujan yang terjun bebas ke bumi. Aku bukan manusia. Aku juga bukan dewa. Aku hanya semacam pendamping untuk anak-anak dewa yang dibuang atau diturunkan ke bumi. 

Kalian pikir cuma di bumi, makhluk yang tidak punya hati berada dan beranak-pinak? Di langit. Tempat tinggal para dewa. Banyak juga yang semacam manusia. Mereka seperti tidak punya perasaan terhadap buah hati mereka sendiri yang seolah tak jauh beda dengan onggokan sampah. Tidak terhitung bayi-bayi dewa yang dibuang ke bumi. Tetapi, bayi-bayi dewa masih lebih beruntung dari bayi-bayi manusia. Sebab bayi-bayi dewa turun ke bumi bersama tetesan hujan dan jikalau dia beruntung, dia akan bertemu perempuan yang sedang mengandung dan berdiamlah dia di dalam rahim si ibu dan berangsur-angsur bersemayam di raga si cabang bayi manusia.

Kau tidak percaya ceritaku?

Bayi-bayi dewa yang terbuang hanya bisa selamat dengan cara seperti itu. Dan hal itu tidak ada ruginya buat calon bayi manusia yang dihinggapi. Bayi manusia itu malah mendapat semacam berkah. Dia tidak akan terlihat sebagai manusia biasa, dia pasti dikaruniai kelebihan yang membuatnya akan terlihat menonjol dibanding manusia yang lain, bisa jadi wajahnya terlihat lebih memikat, atau kecerdasan anak manusia tersebut menjadi di atas rata-rata, atau bisa jadi sudah menunjukkan bakat seorang pemimpin yang kuat. Dan, kami, para pendamping akan mengenali anak-anak manusia yang disemayami oleh anak dewa karena walaupun selaku pendamping kami adalah makhluk metafisika buat manusia, tetapi sebagai sesama pendamping kami bisa saling melihat fisik masing-masing.

Dan, aku, adalah pendamping putera Dewa Astula. Tetapi tidak sama dengan nasib bayi-bayi dewa lain yang dibuang karena tidak diinginkan. Dewa Astula membuang puteranya karena menurut ramalan Dewi Aruna, saudara kandung Dewa Astula, kehancuran kerajaan Astula akan datang dengan lahirnya putera mahkota, kecuali putera mahkota tersebut diturunkan ke bumi dan kesialan yang dibawanya ketika lahir ditinggalkan di bumi. Awalnya Dewa Astula tidak percaya, betapa beliau sangat menginginkan puteranya tersebut setelah dengan sabar melewati kelahiran demi kelahiran 14 puterinya. Doanya tersebut akhirnya terkabul di angka 15. Namun, menurut Dewi Aruna tidak ada pilihan lain. Kesialan yang dibawa putera mahkota harus disinggahkan ke bumi agar tidak membawa kesialan bagi kerajaan Astula di langit.

Itulah awal ceritanya, aku dipanggil Dewa Astula. Aku adalah pendamping terbaik diantara ribuan pendamping dan tugasku adalah menjaga dan memastikan bahwa putera Dewa Astula, Dewa Balakosa, bisa menemukan rahim seorang perempuan untuk bersemayam. Karena bila tidak menemukan selama 3 hari, maka Dewa Balakosa akan berangsur-angsur sirna karena energinya disedot oleh energi inti bumi. 

Ini adalah hari pertama kami turun ke bumi bersama tetesan hujan. Aku mengamati Dewa Balakosa yang masih merah. Dia terlihat sangat tampan dan tenang. Kami mendarat di tumpukan sampah yang menggunung. Baunya luar biasa memutarbalikkan isi perut. Tetapi Dewa Balakosa tidak terpengaruh, di dalam gelembung yang mengambang dia tertidur pulas. Kupandangi kakiku yang transparan menapak di atas tumpukan sampah yang berlendir dan ujung ekorku menempel pada gelembung yang berisi Dewa Balakosa, kemanapun aku bergerak gelembung tersebut tak akan lepas dari ekorku selama energi hidupnya masih ada. Dan biasanya energi hidup rata-rata bayi dewa tidak lebih dari  72 jam.

(Bersambung)

0 comments:

Post a Comment

 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger