Thursday, December 5, 2013

Menunggu


Aku menunggu di Ruang Tunggu Tuhan. 36 tahun. Menunggu pernyataan setuju dari sebuah proposal yang kuajukan. Aku ingin menjadi manusia lain.
Beberapa kali manusia keluar masuk ke Ruangan Tuhan. Melewatiku begitu saja. Aku menghela nafas. Kuhampiri penjaga Ruang Tuhan.
“Sudah lama sekali. Apakah Tuhan punya niatan untuk menemui saya?”
Penjaga itu tersenyum.
“Tentu saja, bu.”
“Berapa lama lagi saya harus menunggu?”
“Sebentar lagi.”
“Sudah kesekian kali Anda mengatakan demikian. 36 tahun bukan waktu yang sebentar. Tolong, pastikan. Apakah saya bisa bertemu?’
Si penjaga kembali tersenyum.
“Coba sabar saja, bu. Tidak akan lama lagi.”
“Saya sudah membuang waktu begitu panjang di sini.”
Seseorang kemudian keluar dari Ruangan Tuhan dengan membawa sebuah proposal. Dia menghampiri kami.
“Ibu Juwita?”
Aku mengangguk.
“Ini Proposal Anda dikembalikan Tuhan.”
Darahku langsung naik ke ubun-ubun.
“Setelah 36 tahun? Cuma ini jawaban dari Tuhan!”

Cerita Selanjutnya baca di Annida-Online

Saturday, November 30, 2013

Manusia Wajib Berkreasi

"Manusia itu memang ditakdirkan untuk berkarya."
 (Sebuah pernyataan psikolog yang aku kutip dari sebuah koran harian)

Sebuah naluri yang alamiah. Tidak ada yang istimewa ketika kita begitu berhasrat untuk menghasilkan sesuatu dalam hidup. Menjadi lebih berarti di tengah-tengah orang lain. Itu memang salah satu insting yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial sekaligus individu. Tanpa sesuatu yang membuat seorang manusia merasa dirinya berarti, biasanya manusia yang bersangkutan akan mengalami suatu tekanan psikologis tertentu.

Jadi, syukurlah ketika kita memiliki passion yang sangat kuat untuk menulis. Apapun itu. Jangan nilai dulu tentang kepantasan karya tulis kita. Menulis saja. Karena melakukan sesuatu yang baik bagi diri sendiri akan menularkan kebaikan pula bagi orang lain.

 Sesuatu yang dihasilkan murni dengan penuh kejujuran biasanya mampu memunculkan karya-karya yang original.


Friday, October 11, 2013

Belajar dari Tulisan Kawan

Aroma Teh yang Kucium di Kereta

11 Oktober 2013 Oleh Kartika Hidayati

Kamis senja adalah perjalanan dengan kereta. Kota kelahiran kembali aku tinggalkan sejenak. Perjalanan ini selalu tentang satu makna. Bahwa hidup adalah doa yang panjang seperti kata Sapardi.

Dan dalam lelah setelah ia bekerja, aku tahu, diam-diam ia membuatkan teh hangat untukku, menyiapkan nasi dengan lauk dalam kotak makan berwarna pink, dan menyimpannya dalam ranselku. Pula tanpa bertanya padaku, ia menyelipkan sebotol air mineral dan roti marie.

Lalu ketika semesta mulai teram. Ia akan berkirim pesan singkat. "Di sini sudah adzan. Selamat berbuka." Aku tahu, ada doa yang selalu ia panjatkan untuk impianku. Untuk semua mimpi-mimpiku yang ia terima dengan kelapangan hati. Lantas ketika tutup teremos kecil aku buka, dan aroma teh poci menyeruak, rindu dan cintaku padanya semakin penuh.

Tulisan yang dibuat dengan sepenuh hati atau kesungguhan selalu terasa mengandung sesuatu yang lebih. Sejak lama saya suka sekali dengan cerpen-cerpen Kartika Hidayati. Tulisannya sederhana tetapi tersirat makna yang dalam dan bukan sekedar biasa. Tentunya, tulisan-tulisan seperti itu diproses tidak secara instan dan sembarangan. Bukan lagi proses pemula tetapi sudah mencapai mahir, kalau bisa dikatakan demikian.

Pemenggalan kata demi kata yang benar-benar sesuai porsi. Tidak dilebihkan. Tapi tetap mampu membawa imaji pembaca ke tujuan yang dimaksud. Tidak ada keraguan meletakkan tiap kata dalam larik. Tetapi tidak pula serampangan untuk meletakkannya. Itu hal yang sangat saya nikmati dari tulisan di atas.

Maaf, Mbak Kartika, saya beranikan mengutip tulisan Saudari, agar saya bisa belajar menulis dengan lebih baik. Karena CONTOH adalah guru yang lebih cerdas dari TEORI.

Terima kasih.

Tuesday, September 24, 2013

Seperti Apakah Cerpen yang Baik Itu?

Saya sering mempertanyakan hal tersebut pada diri sendiri setelah membuat sebuah cerpen atau membaca cerpen yang dibuat orang lain.

"Seperti Apakah Cerpen yang Baik Itu?"

Apakah karena dibuat dengan bahasa yang fantastis?
Apakah karena memiliki multi makna?
Apakah karena mengandung pesan yang sangat baik?
Apakah karena tidak mudah dipahami?
Apakah mampu meninggalkan kesan pada diri pembaca?
Apakah karena mengandung sebuah tujuan?
Apakah ejaan dan kata yang digunakan tepat serta benar?


Saya tidak paham benar apakah seyogyanya cerpen yang baik akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Perdebatan soal cerpen koran yang selama ini telah mendoktrin rata-rata akademisi sastra bahwa "mutu cerpen koran perlu dipertanyakan/diragukan" membuat saya kembali memikirkan dan mempertanyakan "seperti apakah cerpen yang baik itu?".

Tetapi sebagai penikmat sastra yang buta ilmu sastra, saya merasa pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Banyak cerpen-cerpen koran yang dihasilkan dengan tangan dingin dan mampu memberikan sesuatu yang menurut saya "baik."

Bukan kah estetika atau seni itu dinikmati oleh rasa? Dan rasa itu tidak mampu dikekang oleh logika. Bagi saya selaku penikmat, cerpen yang baik itu adalah cerpen yang mampu bercerita dengan jujur. Cerpen yang mengandung sesuatu dengan sangat kuat, kongkrit, dan sederhana. Sehingga pembaca dapat menangkap serta menyimpan sesuatu tersebut sebagai makna yang membekas di diri pembaca. Semakin banyak pembaca yang mampu memahami sebuah karya, bisa jadi semakin baik lah nilai karya tersebut.

Kendalanya memang, selama ini belum banyak pengkritik sastra di tanah air yang menunjukkan suara ke permukaan. Sehingga rata-rata penikmat sastra seperti saya jadi bicara hanya berdasarkan rasa tanpa ilmu.

Muara Sabak, 25 September 2013

Tuesday, September 3, 2013

Film Anonymous

All art is political, Jonson, otherwise it would just be decoration. And all artists have something to say, otherwise they’d make shoes. And you are not a cobbler, are you Jonson. 
 
Edward de Vere, 17th The Earl of Oxford
(Film ANONYMOUS: Interpretasi lain tentang siapa William Shakespeare)

Saya suka film tersebut. 
Kisah tentang William Shakespeare yang walau pada kenyataan sampai sekarang pun masih menjadi perdebatan panjang.

Sebuah argumentasi dan sikap seorang penulis yang telah menciptakan karya masterpiece di jamannya. Menurut Beliau, sebuah tulisan yang tidak memiliki tujuan (pada saat itu Beliau banyak berbicara politik) maka tulisan itu hanyalah sebuah rangkaian kata. Sebab memang tidak bisa dipungkiri, bahwa penulis-penulis besar mampu menghasilkan karya-karya yang luar biasa karena di dalam tulisannya ada suatu hal yang ingin disampaikan dari sekedar cerita. Sebuah Ide. Pemikiran. 

Wajar kalau William Shakespeare mampu mengukir namanya begitu kuat dalam sejarah sastra di dunia.

Tujuan Menulis

Menjalankan rutinitas pekerjaan. Salah satunya mengirim email. Jaringan putus di kantor. Terpaksa harus ke warnet. Di warnet terjebak hujan yang makin deras mengguyur.

Kurasakan sebuah kejenuhan.
Sebuah pertanyaan teman di Facebook sedikit menggelitik:
"Hidup mencari apa dan mati apa yang didapat?"

Seperti apakah kehidupan terbaik yang pantas diraih seorang manusia?
Apakah hanya untuk memenuhi kebutuhan material dan terus terjebak di dalamnya?
Apakah mencari publisitas?
Apakah menjadi tinggi lebih baik daripada menjadi rendah?
Apakah tidak menjadi apa-apa hanya berarti sia-sia?
Seberapa baik manusia yang paling baik di dunia?

Aku merasa terjebak di sebuah persimpangan dan terus terjebak di persimpangan berikutnya. Walaupun yang kuyakini bukanlah sebuah pilihan yang salah. Tetapi kenapa aku selalu mengalami sebuah kegelisahan?

Apa yang kucari, sampai sekarang masih tidak kutemukan. Seolah aku telah terjebak di sebuah dunia yang tidak kukenal. Aku seolah merindukan sebuah dunia lain. Mungkin kah ini wajar? Karena setiap manusia selalu merasa lebih nyaman dengan angan-angan dibandingkan kenyataan.

Kucintai dunia menulis. Tetapi kurasakan dunia itu semata untuk tempatku berteduh ketika hujan sedang turun. Ketika hujan reda. Kutinggalkan untuk waktu yang tidak mampu kuperkirakan. Seolah aku merasa telah selingkuh dari kekasihku. Hal itu lah yang kualami saat ini. Aku ingin setia tetapi aku merasa tidak punya kemampuan untuk setia. Mungkin kah ini cuma sebuah keluhan cengeng dari seseorang yang mengaku dirinya ingin menjadi seorang penulis?

Aku belum mempunyai "tujuan" untuk menulis.
Aku takut hal itu yang membuatku tidak mampu memupuk rasa setia untuk terus menulis.


Friday, August 23, 2013

Jendela Dunia

“A house without books is like a room without windows.” ― Horace Mann

(Bersambung)

Wednesday, August 7, 2013

Cinta di Atas Lapak

Sebagai preman, aku kenal seluruh penghuni Pasar. Rata-rata mereka berjualan secara turun temurun. Begitu pula aku sebenarnya. Dulu Bapak menjual ikan di pasar ini. Aku besar di pasar ini. Aku minggat sekolah juga untuk pergi ke pasar ini. Tetapi aku lebih memilih menjadi preman dibandingkan menjual ikan. Terkesan lebih bergengsi. 
Banyak penjual ikan di pasar selain Bapak. Misalnya Tohir yang menggantikan Mang Jalal. Begitupun si Udin Bonceng. Namun ada pula yang  berubah haluan macam Si Mamat jadi penjual sayur. Beberapa orang tua macam Uwak Deri masih terus berjualan ikan meramaikan pasar. Orang-orang itu sangat menyenangkan dan seperti keluarga saja. 
Kecuali seorang diantara mereka yang membuatku kurang senang. Si Aziz Lele. Sebenarnya ikannya termasuk paling laris di pasar. Tidak sampai siang menjelang, selalu habis terjual. Setorannya pun tak pernah macet.
Kegiatannya setelah usai menjual ikan itu lah yang membuatku tidak menyukainya. Dia menjual cinta. Bongkahan cinta dipajangnya di lapak bekas dia menjual ikan. Bertahun-tahun. Awalnya emaknya yang menjual. Tidak ada satu pun yang pernah membeli. Bergerusnya waktu. Emaknya semakin tua dan tidak sanggup lagi berjualan. Kupikir setelah emaknya pensiun, tidak akan ada lagi penjual cinta di pasar kami. Ternyata, tidak demikian.
Cerita selengkapnya baca di Annida-Online.com

Thursday, July 25, 2013

Novel : Tukar Raga (2)

Setelah tiga hari disekap dalam penjara. Aku dikeluarkan. Pembunuhnya katanya telah diketemukan. Tidak jelas benar siapa pembunuh yang dimaksud. Aku bersyukur. Bukan aku yang menanggung beban itu. Walaupun aku tak yakin apakah aku yang membunuh atau tidak.

Kutuju rumah kostku sendiri. Aku tidak pulang ke kostan Romeo. Aku rindu tempat tidurku yang nyaman dan empuk. Ingin sekali rasanya merebahkan tubuh sekaligus meluruskan tulang-tulang yang rasanya dibungkus pegal. Atau berendam di bathtub dengan air hangat-hangat kuku.

Memasuki pekarangan kostku. Kudapati langsung sosok Juliet berkelebat. Ingin kupanggil tapi rasanya tatapan sinis itu tidak mengundang sahabat.

"Hai, Rom!"
Vonny si gadis jilbab yang ramah menyambutku dengan senyum.
"Di sini, Von?"
"Iya, main ke tempat Juliet."
"Main ke sini Rom?" pertanyaan Vonny terkesan menyelidik.
Aku bingung menjawab.
"Marsya ada ngirim kabar, Rom?"
Aku mengerutkan kening.
"Kamu tidak tahu, Von?"
"Apa?"
"Marsya sudah meninggal."
"Ah, yang benar, Rom" terkejut ekspresi Vonny.
"Dia dibunuh."
Vonny menutup mulutnya.
"Siapa yang tega berbuat itu?"
"Aku tidak tahu. Sebenarnya aku ditahan tiga hari ini karena disangka membunuh. Kemudian aku dilepaskan karena polisi telah menemukan pembunuhnya."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu."
"Kok bisa kau tidak mencari tahu, Rom?"
"Ya,..." aku bingung menjawab.
"Aku curiga padamu, Rom."
Aku mengerutkan kening.
"Curiga apa?"
"Kau tidak sedang bermasalah kan dengan Marysa. Kenapa sikapmu begitu dingin?"
"Dingin?"
"Iya. Dia pacarmu!"
"Aku memang belum tahu siapa yang membunuhnya."
"Kenapa kau malah kemari bukan berusaha mencari informasi pembunuh Marysa?"
Aku gelagapan.
"Kau selingkuh dari Marsya?"
Aku menggeleng kuat-kuat.
Vonny menatapku penuh selidik.
"Jawab dengan jujur. Siapa yang kau cari di kost ini?"
Aku makin dibuat bungkam.

(Bersambung)

Cerita Sebelumnya Novel : Tukar Raga (1)

Menulis adalah Pengorbanan

"Menulis adalah Pengorbanan." Kata Seno Gumira Aji Darma.

Jadi, proses menulis bukan sekedar hal yang biasa-biasa saja. Menulis merupakan kegiatan yang membutuhkan dedikasi. Wajar kalau Seno menyarankan pada penulis pemula untuk memberikan pengorbanan khusus pada kegiatan menulis. Tanpa pengorbanan, tidak akan ada karya yang mungkin tercipta. Sehebat apapun seseorang dalam membuat tulisan. Tetapi dia tidak memberikan kesempatan untuk lahirnya tulisan hebat tersebut. Maka artinya sia-sia.

Memberikan ruang yang istimewa untuk perkembangbiakan karya kepenulisan akan memberikan kesempatan yang besar untuk melahirkan karya-karya. Karya-karya bermutu lahir dari tempaan maha dasyat dari penulis-penulisnya. Tanpa kegigihan, tanpa pengorbanan tidak mungkin karya-karya maestro itu lahir menjadi masterpiece.

Berkorbanlah untuk menulis. Menulis lah untuk mempersembahkan pengorbanan.

Semangat berkarya!


Thursday, June 27, 2013

Menulis: Sederhana dan Ikhlas

Sudah empat hari semenjak tanggal 24 Juni 2013 kuikuti Program Pelatihan Penulisan MASTERA Cerpen. Bertemu dengan sastrawan tanah air maupun negara tetangga. Dari Indonesia; Yanusa Nugroho, Gus Tf. Sakai, dan Nenden Lilis yang selama ini hanya kukenal melalui tulisan di media massa, dari Malaysia: Tuan Syed Mohd Zakir Syed Othman, dari Brunei: Awang Chong Ah Fok, dan dari Singapura: Encik Ishak bin Abdul Latiff. Tokoh-tokoh tersebut membagikan ilmu dan pengalamannya. Sesuatu yang selama ini tidak pernah kubayangkan.

Sebuah proses kreatif akan dialami setiap orang yang menyebut dirinya sebagai penulis. Puncak tertinggi seorang seniman penulis adalah ketika dia mampu menyuguhkan tulisan paling sederhana dari gaya yang telah dianutnya. Sederhana dalam hal ini tentunya sesuatu yang diramu dengan resep yang pas, tidak berlebihan dan bersifat optimal dengan gaya penulisan yang tentunya tidak berlebihan.

Sementara pesan dari Nenden Lilis yang menohok hatiku. Bahwa keikhlasan itu perlu dalam menulis, karena perasaan itu akan mudah dirasakan pembaca.

Dengan keikhlasan, karya tentu akan mampu menemukan muara terbaiknya.

Sebuah pesan yang sangat membuka cara pandangku sebagai penulis pemula. Mempertanyakan tujuan sebenarku sebagai seorang yang menyukai dunia menulis. Mengingatkan pesan ayahku tentang makna hidup bagi seseorang bahwa usaha adalah ibadah. Sesuatu pekerjaan tanpa bermakna untuk Tuhan maka akan berakhir sia-sia.

Kutemukan semua benang merah itu. Di sini. Lembang Asri Bandung.


Wednesday, May 22, 2013

Program Pelatihan Penulisan Cerpen MASTERA 2013

Sudah lama tidak menulis blog. Novel Online "Tukar Raga" pun kehilangan hasratnya untuk melanjutkan cerita. Di tengah kesibukan kerja menyambut Pemilu, saat membuka email, sebuah kabar gembira datang dari MASTERA Indonesia yang mengirimkan undangan untuk mengikuti Program Pelatihan Penulisan Cerpen 2013. Bersorak-sorai hatiku menerima kabar gembira tersebut.

24-30 Juni 2013, acara tersebut akan dilangsungkan pusat bahasa di Bandung Jawa Barat. Awalnya aku tidak paham apa itu MASTERA. Kucari di Google, dan MASTERA adalah Majlis Sastera Asia Tenggara, didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk kerjasama tiga negara (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) dalam melestarikan kesusastraan melayu. 

Di Indonesia, MASTERA dibawah pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan. Setiap tahun MASTERA memiliki banyak kegiatan, salah satunya program pelatihan penulisan cerpen ini. Kuintip beberapa foto kegiatan tahun lalu, narasumbernya dihadirkan Putu Wijaya dan Helvy Tiana Rosa. Wouw, keren banget! Aku idola sekali dengan Putu Wijaya. Mudah-mudahan Tahun ini MASTERA akan mengundang kembali sastrawan besar tersebut.

Tidak sabar rasanya menunggu tanggal tersebut. Sebuah pengalaman yang sangat langka dan menyenangkan.      Terima kasih Panitia Penyelenggara yang telah berbaik hati memberikan kesempatan besar bagi orang kecil seperti saya. Terima kasih Sang Khaliq. :)

Monday, April 15, 2013

Biarkan "Dia" Menentukan Nasib

Sedikit terhambat melanjutkan novel "Tukar Raga", selain karena kesibukan di kantor yang semakin padat juga terkendala masalah bahan kajian atau riset. Karena jelas materi novel ini berkisar soal hukum pidana, tentu ndak bisa sembarangan untuk menguraikan informasi. Biarpun fiksi. Penggarapannya harus serius. Dan jelas harus mampu memberi pencerahan bagi pembaca.

Aku masih berusaha mencari pakar yang mau berbagi ilmu hukum pidana. Kebetulan ada teman yang sempat 4 tahun bekerja di LBH. Pengacara yang lumayan juga jam terbangnya. Tetapi, waktu seolah tidak mau bersahabat untuk meluangkan kesempatan agar bisa bertemu dengan orang yang dimaksud.

Jadi, akhirnya "Tukar Raga" cukup tersendat untuk melangkah ke lembar selanjutnya. Beda dengan "Perempuan Dalam Kurungan Waktu" yang penyelesaiannya termasuk lancar. Beberapa pengalaman selama kerja waktu di perusahaan finance 3 tahun lalu menjadi modal untuk menciptakan setting cerita yang berlatar belakang seputaran dunia kerja di perusahaan finance.

Awalnya ide novel "Perempuan Dalam Kurungan Waktu" berasal dari penyesalan-penyesalan dalam diri yang terus menumpuk. Kegagalan-kegagalan dalam mengambil langkah menentukan sikap dalam kehidupan kemudian sering memunculkan khayalan-khayalan yang tidak biasa. Seperti bagaimana seandainya manusia bisa benar-benar menggunakan mesin waktu dan kembali ke masa silam?

Lalu aku terus memperhatikan film, cerpen, maupun komik yang sering berkisah tentang mesin waktu. Contohnya saja Doraemon. Fujiko F. Fujio pasti memiliki sebuah pengalaman masa lalu yang membuatnya berpikir soal mesin waktu. Dan pengalaman itu biasanya berupa pengalaman yang kurang baik.

Penyesalan lah yang melahirkan "Mesin Waktu" di kepala manusia. Karena itu kemudian novel pertamaku tersebut kunamai "Perempuan Dalam Kurungan Waktu". Orang yang membebani dirinya pada banyak penyesalan akan menjadi orang yang stagnan atau diam di tempat seperti orang dalam sebuah kurungan.

Penulisan cerpen "Perempuan Dalam Kurungan Waktu" mengalir begitu saja. Pada awalnya aku tidak terlalu yakin mampu menyelesaikan lebih dari 20 bagian. Tetapi ternyata target yang kupasang untuk merampungkan 200 halaman cukup kupatuhi. Seperti memiliki nyawa sendiri, novel tersebut bertutur sendiri mengenai kisahnya. Padahal aku sudah mati-matian ingin membuat happy ending dengan berbagai cara, tetapi ketika tangan ini mulai beraksi di atas keyboard laptop, dia malah punya penuturan sendiri. Wajar saja Djenar Maesa Ayu tidak pernah menentukan nasib cerpennya, beliau selalu membiarkan cerpennya untuk menentukan nasib sendiri.

"Perempuan Dalam Kurungan Waktu" kuselesaikan dalam 198 halaman (35 bab). Sedang dicoba dikirimkan ke penerbit mayor. Tetapi nampaknya belum ada titik terang. Tidak berharap banyak. Tetapi kalau tidak berani mencoba, kita tidak pernah tahu nasib kita sebenarnya.


Sunday, March 31, 2013

Novel : Tukar Raga (1)


Sesosok mayat belepotan darah telentang di atas ranjang kamar kostku. Sementara di tanganku tergenggam sebilah pisau berlumur darah. Sesaat wajahku pucat dan jantung berdegup kencang.
Tok! Tok!
Tiba-tiba pintu kamar yang terkunci di ketuk orang.
“Romeo!” tegur di balik pintu.
“Bisa numpang ngetik di komputermu sebentar? Besok aku punya tugas makalah yang harus dikumpulkan!”
Aku memandang komputer di kamarku bergantian dengan sosok di atas kasur.
“Romeo?” tegur suara itu lagi.
Aku menelan ludah. Romeo? Sejak kapan namaku jadi Romeo? Dan pembunuh?
“Rom, please jok! Aku utang lah sama kau!”
Aku masih bingung tapi terpaksa kusahut juga, “E, i-iya, sebentar...” jawabku kalang kabut segera menarik mayat di atas ranjang dan mendorongnya ke kolong tempat tidur. Seprai yang penuh dengan darah segera kulepas. Dan kasur yang telanjang cepat kututupi selimut bersih. Kuganti lampu terang dengan lampu tidur. Sehingga kamarku menjadi temaram dan warna merah tidak terlalu kentara. Terakhir, seprai yang penuh darah serta pisau kusumpal di lemari pakaian.
“Ok,  jok!” aku membuka pintu sambil tersenyum.
Lelaki itu langsung menerobos masuk, “Gila! Habis ngapain, man? lama betul. Jangan sering-sering begituan. Cepat lemas!” katanya segera menghampiri komputer.
Aku mengerutkan kening. Tanda tak paham bicaranya.
“Belum mau tidur, kan? Aku hidupkan lampu ya!”
Belum selesai dia bertindak, aku segera menahannya, “Eits, jangan!”
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Lampu itu,... eh, kita ini kan harus hemat. Bayangkan, masa kau mau pake listrik seboros itu. Sebegitu banyak, dari komputer, kipas angin, teve, tape, belum lagi kalo ada AC. Waduh, bagaimana peran kita nih sebagai generasi muda? Memang idak pernah dengar tentang himbauan pemerintah soal hemat listrik demi masa depan anak cucu kita?”
Lelaki itu mengerutkan kening menatapku.
“Ah, sudahlah! Aku pakai komputermu.”
Aku menghela nafas lega.
***
Malam ini, jam 02.00 WIB. Lelaki itu telah menyelesaikan ketikan makalahnya. Dia permisi. Tapi aku tidak bisa tidur. Bayangkan, aku sekamar dengan sesosok mayat yang entah disebabkan karena permasalahan apa mati di kamar ini bersamaku. Apakah aku yang membunuhnya karena kugenggam belati atau aku hanya kebetulan bersama dengan sosoknya di kamar ini?
Dan, aku berada di kamar ini sebagai Romeo! Seseorang berkelamin laki-laki. Bukankah aku terlahir sebagai perempuan?
Aku panik. Kuintip di balik kolor. Aku semakin panik. Ternyata tidak main-main. Aku lelaki tulen!
***
Tok! Tok! Tok!
“Rom, sudah pagi,  jok! Bangun. Kau idak ado kuliah pagi apo?”
Ketukan keras di pintu kamar membuatku terkejut dan langsung tersungkur ke lantai dari atas dipan. Seketika selimut ikut tertarik dan menyingkap telanjang ranjang sampai ke ujung kaki serta apa yang tersembunyi di bawahnya. Jantungku hampir copot ketika mendapati seraut wajah bersimbah darah kering di kolong tempat tidur. Aku nyaris berteriak histeris kalau tidak ditahan oleh tanganku sendiri.
“Setan!” umpatku dalam hati.
Mayat ini benar-benar menyusahkan!
Tok! Tok!
“Rom? Sudah mampus kau?”
Aku memonyongkan mulut, “Ya, sebentar...”
Segera kurapikan kembali ranjang yang awut-awutan. Kolong dipan kembali kututupi sebelum menguak pintu kamar.
“Yo-i,  jok! Aku ke kampus pagi ini,” sahutku sambil menguap membuka pintu.
“Kayaknya bukuku ketinggalan di meja komputermu.” Katanya menerobos masuk mengambil.
“Kamarmu bau buntang[1]! Coba sekali-kali kau buka dan bersih-bersih.” Ujarnya lagi. “Aku ke kampus duluan. Sori idak bisa serempak[2]. Kuliahku jam 7, ada presentasi makalah kelompok dengan Ibu Atik Rosidah.” Tambahnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapanku.
Tiba-tiba aku merasa akrab dengan nama yang disebutkan lelaki itu. Ibu Atik Rosidah, dosen Ilmu Anthropologi di kampusku.
Mungkinkah lelaki itu kuliah di kampusku? Romeo juga kah?
Kumasuki kamar dan membongkar rak buku Romeo. Kutemui buku akademik universitas yang jelas-jelas terpampang nama universitasku. Romeo adalah lelaki yang satu kampus denganku.
Segera aku menyambar handuk dan peralatan mandi yang terongok di meja komputer. Aku harus mencari sesuatu di kampus! Aku harus menemukan jawaban atas keadaanku ini! Tapi, mayat itu harus kubereskan terlebih dahulu.
Segera kuletakkan lagi peralatan mandi dan kembali berpikir.
***
Kukubur mayat itu di belakang kost-kostan yang luas tanah lapang. Anak-anak kost sudah berangkat ke kampus dan sekolah. Aku yakin betul itu sebelum melakukan ritual nekat di pagi yang cerah ini. Syukurlah belakang kost-kostan adalah tanah luas tempat biasa anak-anak membuang sampah, memang dekat dengan tempat jemuran, tapi karena banyak ditumbuhi rumput ilalang tinggi, dijamin anak-anak kost bakal jarang bertandang.
Selanjutnya, setelah semua kuanggap beres dan aman, aku mandi, berpakaian dan langsung melaju ke kampus dengan mikrolet. Kampusku tidak terlalu jauh dari kost Romeo. Aku cuma butuh 20 menit untuk menjejakkan kaki di lingkungan yang kukenal tersebut.
“Rom!” sebuah sahutan gadis berjilbab menyambutku di muka kampus. Rupanya Vonny, teman sekelas. Ternyata dia mengenal Romeo. Dan yang tak kuduga, Vonny bersama gadis lain yang sangat kukenal. Sosok asliku.
“Ju-Juliet?” aku langsung menyebut namaku.
Si gadis berjilbab tersenyum dengan kening berkerut sambil melirik gadis di sampingnya, “Kenal dengan Juliet, Rom?”
Aku menatap Juliet. Tetapi balasan tatapannya seolah tidak suka akan tatapanku.
“Tidak.” Malah Juliet yang menjawab pertanyaan Vonny.
Aku memicingkan mata, seolah ingin menembus jiwa dibalik sosokku itu.
Kalau aku di raga Romeo? Siapa di ragaku?
“Ayo, Von. Bukannya kita ada kuliah pagi ini?” ajak Juliet memaksa gadis berjilbab beranjak dari hadapanku.
“Sebentar, Jul.” Lalu Vonny menatapku lagi, “Rom, Marsya ke mana ya? Dari kemaren dia idak pulang ke kostan. Idak sama kau?”
Marsya? Mayat itukah?
Tak sengaja aku menatap Juliet. Sosokku itu menatap tajam dan sinis sebelum akhirnya ia berpaling.
Aku merasa ada sesuatu di balik tatapan sinis itu.
“Rom?” bertanya lagi gadis berjilbab.
“Aku tidak tahu, Von.” Kujawab sekenanya lalu segera berlalu. “Aku ada kuliah. Aku duluan.”
***
Marsya?
Aku sama sekali tidak familiar dengan nama itu. Tapi kukira dia juga kuliah di tempat yang sama denganku dan Romeo, selain itu dia satu kost dengan Vonny. Romeo satu fakultas dan jurusan denganku tapi beda kelas. Sungguh, aku tidak begitu mengenalnya. Aku baru kali ini melihatnya. Bagaimana tabiatnya aku tidak paham sama sekali. Dia sepertinya tidak aktif organisasi ekstra atau intra kampus, karena kalau dia aktif, aku pasti pernah melihatnya sesekali.
Setelah mengikuti kelas Romeo, aku kembali pulang menggunakan mikrolet. Tidak langsung ke kostan Romeo. Aku ke mall membeli beberapa peralatan mandi. Rasanya risih memakai peralatan laki-laki.
Sehabis belanja, aku langsung pulang lagi ke kost Romeo. Tapi, di depan kost langkahku tertahan. Mobil polisi dan kerumunan banyak tetangga. Jantungku sesaat berhenti berdetak. Perasaanku terasa tak enak. Kulangkahkan kaki satu-satu dengan penuh keraguan ke pekarangan kost.
“Bang Ujang nemu mayat di pekarangan belakang kost kita!” teman sebelah kamar kostku langsung menghampiri. Wajahnya kelihatan pucat persis sepertiku.
“Mayat?”
Dia mengangguk sambil memperbaiki kacamata. “Bang Ujang tadi pagi disuruh Ibu kost bersihin pekarangan belakang. Rencananya mo nanam ubi kayu,” tambah si kacamata.
Kok harus sekarang pula nanam ubi kayunya?
“Kayaknya mayatnya masih baru.” Jelas si kacamata tanpa diminta.
Aku membuka pintu kamar dan berusaha menenangkan diri. Untung saja seprai berlumur darah itu sudah kubuang bersama belati. Mudah-mudahan saja polisi tidak memeriksa kamar kami satu per satu. Karena aku takut sisa-sisa darah masih belum bersih benar aku hilangkan. Tapi ternyata harapanku meleset, satu per satu kami penghuni kost diinterogasi dan tiap-tiap kamar diperiksa tanpa luput. Selama 24 jam kostan kami diawasi, tak satu orang pun boleh keluar tanpa seizin petugas yang menjaga. Besoknya, aku diciduk dan mendekam di rumah tahanan. Mayat itu sudah dikenali sebagai Marsya. Kekasih Romeo yang telah hamil 4 bulan.
***


[1] Buntang = Bangkai
[2] Serempak = Bareng


(Bersambung)

Thursday, March 14, 2013

Menulis Fiksi Tidak Berarti Mengabaikan Fakta

Saya menyukai kritik. Bagi saya kritik seperti coklat. Sangat nikmat dikunyah tetapi juga punya efek bagus mengurangi stress sekaligus menutrisi otak.

Satu kali saya coba mengirimkan cerpen saya di komunitas penulis di sebuah group di Facebook. Saya ingin mengukur kemampuan saya tentunya. Saya kirim sebuah cerpen yang sudah pernah diterbitkan di majalah online remaja yang cukup punya nama. Saya kira, tentulah cerpen saya tersebut tidak bakal membuat saya malu. Ternyata dugaan saya salah besar.

Hujanan kritik mengguyur deras. Banyak cacat pada bangunan karya fiksi tersebut. Banyak fakta yang salah saya cantumkan. Sebuah tamparan keras untuk saya. Tapi sungguh, itu tamparan yang baik untuk menyadarkan saya bahwa sebuah karya fiksi tidak semata mengandung cara bertutur yang mengalir dan pilihan kata yang baik, tetapi juga lampiran fakta yang akurat. Sebab unsur-unsur itu saling mendukung satu sama lain yang pada akhirnya melahirkan sebuah cerpen yang utuh.

Menulis fiksi, bukan berarti kita jadi mengabaikan fakta. 

Saya jadi ingat kembali sebuah catatan lain yang saya tulis sebelumnya, dan catatan tersebut bermaksud mengingatkan tentang pentingnya fakta dalam fiksi. Entah bagaimana saya bisa melupakan hal itu! Fakta dan Fiksi.

Tetapi memang, untuk menjadi ahli, tidak ada kata untuk berhenti belajar. Sampai kapanpun.
Syukurlah akhirnya saya punya keberanian untuk membedah cerpen saya di forum tersebut. Apabila tidak, mungkin sampai detik ini, saya masih terus merasa puas dengan karya saya. Padahal masih banyak yang perlu diperbaiki dan dibenahi.

Saya masih terus berharap mampu menghasilkan sebuah karya yang berkualitas namun juga mampu menginspirasi pembaca.
Semoga.
Amien...

 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger