Sunday, October 7, 2012

Dongeng Gerhana (Bagian 1)



Ibu peri Seirra tidak pernah menduga apabila pangeran peri Gerhana harus dilahirkan dengan membawa kutukan dari peri jahat Laksniky. Hanya karena kesalahan Ibu Peri Seirra yang melupakan janji mengundang putera peri jahat tersebut dalam Sayembara pemilihan calon peramal istana peri setahun lalu. Kini pangeran peri Gerhana harus terlahir menjadi ruh tanpa jasad. Dia harus turun ke bumi untuk menemukan  jasad yang tepat bagi tubuhnya bersemayam, agar dia tidak semata jadi ruh yang terus bergentayangan tanpa arti.

Sayangnya, ruh pangeran turun ke bumi sendirian, tidak boleh ditemani punggawa, pelindung, asisten, atau sahabat sekalipun. Itu ketentuan dari kutukan. Pangeran harus menjalankan kutukan itu sendiri. Ibu peri Seirra hanya bisa menjemputnya setelah genap 20 tahun pangeran turun ke bumi. Apabila Ibu  peri Seirra berani melanggar. Pangeran akan dimakan kutukan. Tubuhnya raib menjadi serpihan debu tanpa arti.

Ibu peri Seirra merana. Betapa beliau merasa mempersalahkan dirinya sendiri akibat kebodohannya yang telah menyebabkan puteranya menanggung kesalahan yang tidak pernah diperbuat. Ibu peri Seirra menurunkan hujan selama 7 hari berturut-turut ke bumi menyertai kepergian sang pangeran pertama istana peri kayangan. Riak air langit tersebut tidaklah beringas, hanya terasa sendu dan kelam sepanjang hari oleh umat manusia. Titik-titiknya turun begitu pelan dan halus. Tidak sepoi-sepoi karena tidak ada angin yang menggoyang riaknya. Titik-itik air langit itu hanya dibiarkan luruh dari langit ke tanah. Menghujam tanah dengan penuh rasa penyesalan yang dalam. Berharap bisa menemani perjalanan tanpa arah dari pangeran Gerhana yang belum terhitung bulan lahir ke dunia.

Ruh pangeran melayang-layang dalam gelembung udara yang luruh bersama air langit. Tidak ada tangis yang membahana darinya. Dia hanya pulas tertidur dalam gelembung udara. Terombang-ambing. Berputar. Bergerak ke kiri. Ke kanan. Atau tersangkut di dahan pohon. Gelembung udara tersebut terselubung ajian ajaib seribu peri yang akan melindungi sang pangeran dalam seribu hari pencarian. Ibu peri Seirra merasa takut, pabila pangeran tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk menemukan jasad yang tepat bagi ruhnya yang tidak biasa. 

(Bersambung)

Thursday, October 4, 2012

Thinking Out of The Box

Clara Ng nongol di acara Referensi, Kompas TV, Jumat pagi ini. Jam 08.00 WIB. Pas udah siap ke kantor. Hm, berhubung emang udah terhitung terlambat, kayaknya terlambat lebih dikit sama saja dosanya...hehehe..

Jadi, duduklah dengan manis di muka televisi memandangi Clara Ng. Sosok yang selama ini sering saya dengar, terutama yang berkaitan dengan @ceritamini, sebuah komunitas penulis flash fiction Indonesia di twitter yang terus menjadi pembicaraan.

Ternyata beliau adalah penulis yang menyenangkan. Mengapa demikian?
Sebab semua genre tulisan beliau lahap. Tidak ada kata tidak bisa dalam kamus beliau. Bergaul dengan kaum sastrawan pun semakin mendukung kesukaannya pada dunia menulis. Tetapi dari sekian genre yang tanpa pandang bulu digarapnya. Beliau memfokuskan diri pada genre anak-anak terutama dongeng.

Beliau mengatakan bahwa di Indonesia banyak dongeng atau cerita rakyat yang menarik dari setiap daerah. Tetapi hanya sebatas demikian. Bisa dihitung dengan jari penulis Indonesia yang mengkhususkan diri menggarap dongeng modern.

Padahal mengarang cerita anak-anak kan susah, apalagi kita adalah orang dewasa. Tapi, inilah menariknya Clara Ng. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya menjadi orang dewasa itu sangat menyiksa. Karena DEWASA itu semacam penjara yang membuat diri kita tidak bisa berkelana dengan bebas ke manapun. Tetapi, apabila kita bisa membebaskan DEWASA tersebut dan mengembalikannya ke dunia anak-anak, maka jiwa seperti itu akan bisa menulis cerita anak-anak yang menarik dan berkisah dengan cara anak-anak bertutur.

"Thinking out of the box", maka karya kita tidak akan biasa. Kesimpulan tersebut yang akhirnya saya tangkap dari kecerdasan berpikir Clara Ng.

Selain itu, beliau mengatakan bahwa setiap tulisan atau buku akan menemukan jalannya sendiri untuk sampai ke tangan pembaca. Weits! kok pemikirannya sama dengan saya di Publikasi Itu Wajib, bahwa setiap tulisan memiliki takdirnya masing-masing. Jadi, jangan banyak keraguan untuk menulis. Tulis saja. Pasti ada saja yang akan membaca dan menyukai tulisan tersebut.


 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger