Thursday, April 5, 2018

Menulis 30 Novel dan 1000 Cerpen. Mungkinkah?

Menarik membaca sekilas biografi Putu Wijaya, seorang penulis produktif yang serba bisa ini telah menulis berbagai ragam bentuk tulisan, tidak hanya cerpen, novel, drama tetapi juga esai, artikel, kritik drama, skenario film maupun skenario sinetron. Jumlahnya pun tidak main-main, tercatat 30 novel telah berhasil ditulisnya yang beberapa diantaranya mendapatkan penghargaan begitu pula 40 naskah drama, seribu cerpen, ratusan esai, artikel dan kritik drama.

Satu kata yang langsung tercetus dari mulutku: Fantastis!
Seorang penulis yang sangat produktif dan bertalenta. Karena beliau tidak hanya menunjukkan kuantitas pada karyanya tetapi juga kualitas Aku pun pernah membaca pada sebuah ulasan seseorang menyangkut proses menulis Putu Wijaya. Katanya, Putu Wijaya adalah seorang penulis yang sangat disiplin dan tekun. Setiap hari dia harus menulis 10 tulisan yang mencakup cerpen atau esai ataupun jenis tulisan lain. 

Setiap hari yang isinya hanya 24 jam. Rasanya pekerjaan yang sangat tidak mungkin mengumpulkan ide-ide baru di kepala dalam waktu sesingkat itu. Luar biasa. Aku sungguh berdecak kagum pada tokoh penulis seperti beliau yang berdedikasi sangat tinggi pada dunia kepenulisan. 

Karena itu kemudian tercetus dalam diriku untuk mulai memasang target yang cukup ketat pada diri ini. Mungkin tidak segarang yang dilakukan Putu Wijaya. Sepuluh tulisan per hari. Aku akan memulainya dengan satu tulisan per hari di Blog dan satu chapter tulisan di Wattpad

Tentu itu bukan pekerjaan yang mudah, perlu dedikasi dan kejujuran. Padahal hal yang paling sulit adalah berdedikasi dan jujur pada diri sendiri. Tetapi ya, begitulah. Mengutip tulisan Putu Wijaya tentang Konsep Menulis, bahwa menulis adalah proses yang tidak gampang, tetapi penuh kesulitan, melelahkan, menyakitkan dan membosankan. Namun, kemampuan Putu Wijaya patuh pada aturan yang dibuatnya sendiri dalam mengasah kemampuan dalam menulis menghasilkan karya-karya yang luar biasa.
  
Jadi, menulis 30 novel dan 1000 cerpen apakah suatu hal yang mustahil? 

Putu Wijaya telah membuktikan hal itu. Menulis adalah kerja keras.

Wednesday, April 4, 2018

Konsistensi dan Waktu Sebagai Penentu Kualitas Menulis


Saya beruntung menemukan video di atas di Facebook seorang teman. Karena video berdurasi tidak sampai 5 menit itu sangat memotivasi. Kalau saya sedang down dengan tulisan saya, saya akan menonton video itu dan merasa perjuangan saya dalam dunia menulis saat ini belum ada apa-apanya. Saya tidak boleh berhenti. Perjuangan harus terus berjalan.

Tak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat untuk dimulai. Tidak akan ada usaha yang sia-sia selama itu dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan. Bukan masalah berapa lama kamu telah menggeluti dunia tulis menulis, bukan masalah berapa banyak karya yang telah kamu kirimkan ke penerbit atau redaksi media massa yang kemudian ditolak, bukan masalah berapa banyak sudah pengorbanan yang telah kamu lakukan untuk menunjukkan karya-karyamu pada orang lain tetapi tidak mendapatkan respon seperti yang kamu harapkan. 

Tetapi, apakah kamu mau bangkit dari kegagalan demi kegagalan, cemoohan demi cemoohan, bertahan dan tetap konsisten menulis pada kondisi apapun, bekerja keras untuk meningkatkan mutu dan karakter tulisanmu tanpa mengenal rentang waktu.

Kalau kamu mampu melalui semua tahapan itu, maka sesuai jadwalnya, sesuai waktunya, sukses itu akan berada di tanganmu.

Karena itu, jangan menyerah untuk menulis hanya ketika tidak satu orang pun membaca apa yang kamu tulis. Jangan rendah hati ketika semua orang meremehkan apa yang kamu tulis. Jangan pergi ketika semua orang meninggalkan karya-karyamu. Menulislah untuk sesuatu yang harus kamu yakini akan datang padamu.

Menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi bukan mustahil untuk menghasilkan sebuah masterpiece. Semua adalah masalah konsistensi dan waktu. Apabila kamu konsisten untuk menulis, maka pada satu titik waktu, engkau akan menemukan orang-orang yang melihat karyamu.






Tuesday, April 3, 2018

Puisi Sukmawati Soekarno Putri: Apakah Sastra Hanya Alat Penyampai Kebenaran Subjektif?



Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

(Ditulis oleh Sukmawati Soekarno Putri)


Beberapa waktu terakhir ini, puisi Sukmawati Soekarno Putri berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan di acara perhelatan 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di ajang Indonesia Fashion Week 2018, menuai banyak kontoversi. Karena dinilai karya tersebut secara terang-terangan telah melecehkan Islam.

Apakah sebuah karya sastra seperti puisi merupakan alat propaganda yang pantas digunakan untuk menyakiti suatu kaum? Apakah ini yang disebut suara kebenaran?
Saya kemudian teringat tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Apakah ini yang disebut usaha ‘bicara’ dalam sastra? Usaha untuk menyampaikan pendapat yang tidak dapat diutarakan secara eksplisit? Usaha menunjukkan kebenaran pada publik?

Apa sih ukuran kebenaran itu? Seberapa jauh jaraknya dengan ukuran kesalahan? Apakah ada jarak yang jelas di antara keduanya atau mungkinkah keduanya bisa dikaburkan dan malah disatukan dalam sebuah perspektif? Sehingga publik pun menerimanya sebagai sebuah sudut pandang kebenaran?

Puisi Sukmawati Soekarno Putri yang menempatkan syariat Islam di bawah nasionalisme keindonesiaan sebenarnya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Apabila dia mau mencermati sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga seyogyanya dia harus memahami bahwa nasionalisme keindonesiaan menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Menghormati setinggi-tingginya aturan apapun yang dianut sebuah agama yang diakui di Indonesia dan bukan sebaliknya. 

Jadi, apakah ini kebenaran? Atau kebenaran itu sendiri sebenarnya terbagi lagi dalam bagian-bagian tersendiri, seperti kebenaran yang tercampur dengan kesalahan, kebenaran yang tercampur dengan ketidaktahuan, atau kebenaran yang berdiri dengan sendirinya sebagai sebuah kebenaran hakiki?
Karena apabila memperhatikan cara pandang Sukmawati, puisinya tidak mengandung kebenaran hakiki. Cara pandangnya bertentangan dengan nilai utama perspektifnya sendiri. Suatu hal yang rancu sebenarnya yang dia lakukan. Dia sekaligus mengatakan saya nasionalisme tetapi tidak nasionlaisme. Sehingga kemudian saya dapat mengatakan bahwa kebenaran yang diutarakan Sukmawati adalah kebenaran subjektif. Tetapi pantaskah dalam sastra menyampaikan kebenaran subjektif?

Edward de Vere-17TH The Earl of Oxford yang diduga merupakan William Shakespeare dalam sebuah film berjudul Anonymous, mengatakan bahwa all art is political and all artist have something to say. Jadi sastra atau seni itu hanyalah sebuah alat saja. Esensi dalam sastra itulah yang terpenting. Sehingga menurut Edward de Vere, sastra harus mempunyai kandungan tertentu yang ingin disampaikan penulis. Sukmawati memenuhi hal itu, dia menyampaikan cara pandang politiknya melalui balutan puisi.

Sebuah kesalahan?

Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Kalau mengikuti pendapat Edward de Vere secara umum, apa yang dilakukan Sukmawati adalah sah-sah saja dan dapat dibenarkan. Tetapi, para seniman meyakini bahwa karya sastra merupakan benda suci yang terbebas dari kepentingan-kepentingan politik. Sehingga tindakan Sukmawati terhadap puisi dianggap telah mencederai makna positif dari karya sastra. Karya sastra yang telah lama diagung-agungkan sebagai media untuk memperjuangkan suara bagi pihak-pihak tertindas, terintimidasi, dan termarginalkan telah berhasil digeser Sukmawati ke arah sebaliknya. Dan di sinilah letak kesalahannya. Sukmawati telah memperalat puisi untuk menyampaikan kebenaran subjektif. Sukmawati telah melakukan politisasi pada puisi.

Apakah ini adil?

Tidak. Seharusnya sastra tidak saja merupakan alat untuk menyampaikan kebenaran. Tetapi lebih tepatnya menyampaikan kebenaran hakiki, universal, sejati dan objektif.

Belajar Menulis Bersama Wattpad

Apa sih Wattpad itu?
Wattpad adalah sebuah media tempat berkumpulnya para pembaca, penulis, bahkan penerbit. Sebuah media yang mewadahi penulis untuk menuangkan karyanya, memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk terjadinya kontak antara pembaca dan penulis. Bagi penerbit, media ini menjadi semacam alat ukur pasar. Penerbit bisa membaca selera pasar melalui Wattpad bahkan mengenal banyak penulis baru yang berbakat.

Semenjak 3 bulan terakhir ini saya sedang berusaha serius menggarap buku-buku saya di Wattpad. Dan luar biasa. Wattpad sangat membantu saya untuk konsisten menulis. Padahal selama ini rasanya sulit sekali untuk menggarap sebuah tulisan. Mungkin nuansa yang dibangun Wattpad serupa perpaduan sosial media dan blog sehingga ada semacam rasa ketagihan yang tercipta untuk terus membuka situs tersebut. Lebih-lebih berseliwerannya berbagai banyak tulisan dari berbagai jenis penulis dan kelas. Mengapa saya menyebut kelas di sini, karena ada penulis-penulis yang sungguh-sungguh serius menggarap tulisan-tulisannya hingga diterbitkan penerbit mayor dan ada yang sekedar angin-anginan menulis. Tetapi, aura buku yang bertebaran setiap layar dibuka pada situs ini membuat saya terus ingin mengecek buku saya sendiri. Apakah saya sudah up date cerita? Saya harus up date cerita biar pembaca terus mengunjungi lapak saya. Tanpa terasa novel Balakosa yang hampir setahun mandek di blog pada chapter 1 di Wattpad sudah berkembang hingga chapter 27 detik ini. Tiap hari saya berusaha melakukan up date. Walaupun kualitas tulisan saya masih berada pada titik kualitas yang sama, paling tidak saya sudah mengasah konsistensi saya pada kegiatan ini. Mungkin sulit untuk menyamai Putu Wijaya yang sangat produktif menghasilkan karya bermutu. Tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan selama konsistensi tersebut terus dipertahankan.

Melalui Wattpad, saya rasa penulis dapat mengembangkan kualitasnya dengan baik. Karena walaupun ada penerbit yang pernah mencap penulis Wattpad tidak bermutu. Tetapi, perlu diingat, menulis adalah sebuah proses. Bukan tidak mungkin suatu saat penulis yang dicap tidak bermutu itu akan menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Hal itu dapat saya buktikan dari penulis yang ada di Wattpad yang merasa ketika awal menulis di Wattpad tidak cukup percaya diri dengan kualitas tulisannya. Tetapi beriring waktu dan ketekunan untuk belajar serta memperbaiki diri. Lambat laun tulisannya membaik dan buku-bukunya di Wattpad sudah disunting banyak penerbit mayor.

Jadi untuk menjadi lebih baik. Penulis harus memanfaatkan semua media yang memungkinkannya untuk berkembang lebih baik. Dan saat ini, saya memutuskan untuk belajar menulis bersama Wattpad. Saya tidak tahu kemana nanti muara tulisan-tulisan yang telah bertumpuk di Wattpad itu. Tetapi saya ingin terus mengasah tulisan ini semakin berkarakter dan bermutu. Itu bukan hal yang instan tapi butuh waktu dan usaha. Saya yakin Wattpad mampu membantu. Silahkan mampir ke @MardianaKappara untuk membaca usaha saya belajar menulis.

Bagaimana dengan kamu?

Sunday, October 1, 2017

Ingin Menjadi Penulis Sukses? Fokuslah Menulis!

Saya, orang yang tidak fokus. 
Saya menyukai berbagai hal dan ingin menguasai semua hal. Saya suka menggambar, memasak, membuat keterampilan, berbisnis dan banyak lagi selain menulis. Saya tidak pernah melakukan segala sesuatunya dengan bersungguh-sungguh. Konsentrasi dan perhatian saya sangat mudah teralihkan dengan segala sesuatu yang "menarik"menurut pandangan saya.

Suatu ketika, Mamak mengobrol dengan saya setelah kelahiran Rayyan Ar Rasyid, katanya "Kakakmu Uma dan Adikmu Fitri, mereka adalah orang-orang yang fokus, mereka adalah orang yang sangat tekun dengan apa yang mereka kerjakan. Seperti apapun pekerjaan itu, banyak atau sedikit yang mereka peroleh dari jerih payah mereka, seimbang atau tidak antara apa yang telah mereka korbankan dengan apa yang mereka peroleh, mereka tidak pernah mengeluh. Mereka menikmati setiap hal dalam 'kefokusan' mereka tersebut, karena mereka mencintai apa yang mereka kerjakan. Sementara, kamu tidaklah pernah fokus dengan apa yang kamu lakukan."

Saya termenung sejenak mendengar ujaran Mamak. Iya, baru tersadarkan kalau ternyata saya bukanlah orang yang fokus. Fokus terhadap apa yang saya cintai. Padahal setiap mengisi kolom hobi, saya tidak pernah menulis hal lain kecuali 'menulis dan membaca'. Padahal, jujur, berapa banyak buku yang telah saya beli dan tertata rapi di rak buku, bahkan masih banyak yang bersegel, nyaris tak tersentuh. Dalam seminggu belum tentu ada satu buku yang fokus saya baca hingga selesai. Mungkin bahkan satu bulan atau satu tahun. Padahal membaca adalah amunisi menulis. Bagaimana bisa menulis apabila kurang membaca. Jika membaca rutin saja sulit, apalagi mau menulis dengan rutin. Malu rasanya menyebut diri ini sebagai penulis.

Seorang penulis besar pernah menasehati, bahwa untuk menjadi penulis, maka bersungguh-sungguhlah menulis, sediakan waktu 'khusus' untuk melakukan ritual menulis. Karena menulis itu sebuah kerja keras, sebuah kerja yang tidak asal-asalan, dan bukan pekerjaan yang sepele, dia membutuhkan 'alokasi tersendiri' dari waktu yang dimiliki seseorang yang ingin menjadi seorang penulis. 

Ya, saya tidak pernah melakukan itu untuk kegiatan menulis. Saya tidak pernah memperlakukannya dengan demikian spesial. Wajar kalau saya tidak pernah menghasilkan sesuatu yang istimewa dalam tulisan saya. Saya merasa semenjak kelas 3 SD hingga kini usia menginjak 37 tahun, kemampuan menulis yang saya miliki tidak meningkat dengan pesat. Berbeda jauh dengan teman-teman yang kemarin sempat berada di garis start yang sama. Tetapi sekarang, mereka telah menjadi orang-orang yang luar biasa. Iri? Bisa jadi. Tapi, lagi-lagi ajaran dalam agama saya mengatakan, pekerjaan adalah ibadah, sementara rezeki yang didapatkan dari kerja keras itu adalah karunia Tuhan. Jangan iri hanya dengan karunia Tuhan tapi tidak iri dengan ibadah (kerja keras) yang dilakukan orang tersebut. Orang yang bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan meniatkannya sebagai ibadah merupakan gambaran orang yang fokus. Karena dia akan melakukan yang terbaik dan ikhlas melakukannya.

Apakah saya sudah cukup fokus menulis
Saya harus bisa menjawabnya dengan jujur.

Tuesday, April 21, 2015

Novel : Tukar Raga (3)

"Rom, pasti ada seseorang kan yang kau cari di sini?"
"A,..Aku, aku tidak sedang mencari siapa-siapa. Aku hanya,.."
Tiba-tiba Juliet melongokkan kepalanya dari dalam kamar. Kamarku yang seharusnya memang menjadi kamarku apabila aku tidak di tubuh lelaki ini. Juliet menatapku. Tetap sinis. Lalu dia masuk kembali dan menutup pintu kamar.
"Kau mencari Juliet?" Vonny bertanya
Aku menggeleng, "Ti,..tidak."
Vonny memicingkan mata menatapku.
"Iya. Aku tidak mencari Juliet." Aku meyakinkan perempuan berjilbab tersebut.
"Siapa yang kau kenal di sini?"
Aku berpikir. Seketika Cimut melintas dari kamar mandi.
"Cimut!!!"
Perempuan berbadan tambun tersebut gelagapan menepis handuk yang menutup kepalanya. Lalu mencari-cari asal suara yang meneriakkan namanya, "Ya?" 
"Cimut! Aku Romeo!" Panggilku lagi. 
Setelah matanya menangkap sosokku otomatis Cimut langsung melongo.
"Cimut, ingatkan aku ajak kamu dua minggu lalu makan di lesehan pecel lele depan kostan ini?"
Cimut tambah melongo. Tapi hanya sejenak. Sekian detik kemudian dia mengangguk-angguk dengan mengacungkan telunjuknya ke udara. "Oh, yang itu,..."
"Iya, Mut! Ingatkan?"
Cimut setengah tak yakin menganguk-angguk lagi.
Vonny menatapku dengan kening berkerut, "Kau mencari Cimut?"
"Iya. Cimut." Tunjukku dengan senyum sangat lebar.
"Aku masuk dulu ya, aku ada kuliah setengah jam lagi." Sahut Cimut.
"Oke. Ma kasih ya, Mut yang kemaren." Sahutku basa-basi.
"Sama-sama." Cimut masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.
"Ada urusan apa kau dengan Cimut?"
"Aku, aku minjam catatan kuliahnya."
"Catatan kuliah? Dia kan Teknik Sipil!"
Aku menepuk jidat. Aku kan Ilmu Pemerintahan. goblok!
"Iya. Tapi sebenarnya cuma alasan,..."
"Alasan?" Vonny semakin curiga.
"Aku ada perlu dengan Cimut secara pribadi." Jawabku.
"Kau mendekati Cimut?" Vonny bicara setengah berbisik.
"Oh, tidak! Tidak, Von!"
"Gila kau Rom, Marsya dibanding Cimut seperti bumi dan langit. Kau sakit Rom!"
Aku meletakkan telunjuk di atas bibirku.
"Kau gila, Rom! Memang ada masalah apa kau dengan Marsya?" Vonny mengecilkan volume suaranya. 
Aku menggelengkan kepala, "Tidak ada. Tidak ada apa-apa."
"Beberapa minggu ini kulihat Marsya murung dan tidak banyak bicara. Kamarnya saja sering dikunci dari dalam. Kalau kutanya, dia selalu bilang sedang tidak enak badan. Kau pun kulihat jarang main ke kostannya."
Aku akhirnya merasa kesal juga dengan berondongan pertanyaan Vonny.
"Aku tidak tahu, Von. Dan aku rasa tidak ada apa-apa. Lagian kenapa kau jadi persis emaknya?"
Vonny mengatupkan mulutnya rapat.
"Mohon maaf ya, Von. Aku juga saat ini sedang mengalami kebingungan yang sangat terhadap diriku. Jadi tolong lah kasih aku waktu untuk menyesuaikan diri."
"Rom! Marsya itu sahabatku dan lebih dari saudara aku. Jadi sekarang, tolong bantu aku untuk melihat Marsya. Kalau dia memang sudah tidak lagi, aku ingin melihat jasadnya."
"Hm, kau benar-benar tidak tahu Marsya sudah meninggal. Tidak ada yang berkunjung ke kostanmu dari kepolisian beberapa hari ini?"
"Aku sedang keluar empat hari ini. Aku tidak di kostan."
Aku hanya mengangguk.
"Antar aku, Rom. Aku ingin lihat Marsya."
"Mungkin dia masih di ruang otopsi rumah sakit? Aku juga tidak tahu Von. Aku cuma diinterogasi di kantor polisi. Aku sama sekali tidak dipertemukan dengan mayat Marsya."
"Kau masih pacarnya kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Kau tidak ingin melihat dia untuk terakhir kalinya?"
Aku mengangguk lagi.
"Ya, ayo!" Seret Vonny.
Aku terpaksa mengikuti perempuan tersebut ke arah mobil Mirage merah yang diparkirnya di pekarangan kost-kostan.

(Bersambung)

Cerita sebelumnya Novel: Tukar Raga (2)

Sunday, April 19, 2015

Balakosa (Bagian 1)

Namaku. Tidak ada. Aku tanpa nama. Aku dari langit dan diturunkan ke bumi bersama bulir-bulir air hujan yang terjun bebas ke bumi. Aku bukan manusia. Aku juga bukan dewa. Aku hanya semacam pendamping untuk anak-anak dewa yang dibuang atau diturunkan ke bumi. 

Kalian pikir cuma di bumi, makhluk yang tidak punya hati berada dan beranak-pinak? Di langit. Tempat tinggal para dewa. Banyak juga yang semacam manusia. Mereka seperti tidak punya perasaan terhadap buah hati mereka sendiri yang seolah tak jauh beda dengan onggokan sampah. Tidak terhitung bayi-bayi dewa yang dibuang ke bumi. Tetapi, bayi-bayi dewa masih lebih beruntung dari bayi-bayi manusia. Sebab bayi-bayi dewa turun ke bumi bersama tetesan hujan dan jikalau dia beruntung, dia akan bertemu perempuan yang sedang mengandung dan berdiamlah dia di dalam rahim si ibu dan berangsur-angsur bersemayam di raga si cabang bayi manusia.

Kau tidak percaya ceritaku?

Bayi-bayi dewa yang terbuang hanya bisa selamat dengan cara seperti itu. Dan hal itu tidak ada ruginya buat calon bayi manusia yang dihinggapi. Bayi manusia itu malah mendapat semacam berkah. Dia tidak akan terlihat sebagai manusia biasa, dia pasti dikaruniai kelebihan yang membuatnya akan terlihat menonjol dibanding manusia yang lain, bisa jadi wajahnya terlihat lebih memikat, atau kecerdasan anak manusia tersebut menjadi di atas rata-rata, atau bisa jadi sudah menunjukkan bakat seorang pemimpin yang kuat. Dan, kami, para pendamping akan mengenali anak-anak manusia yang disemayami oleh anak dewa karena walaupun selaku pendamping kami adalah makhluk metafisika buat manusia, tetapi sebagai sesama pendamping kami bisa saling melihat fisik masing-masing.

Dan, aku, adalah pendamping putera Dewa Astula. Tetapi tidak sama dengan nasib bayi-bayi dewa lain yang dibuang karena tidak diinginkan. Dewa Astula membuang puteranya karena menurut ramalan Dewi Aruna, saudara kandung Dewa Astula, kehancuran kerajaan Astula akan datang dengan lahirnya putera mahkota, kecuali putera mahkota tersebut diturunkan ke bumi dan kesialan yang dibawanya ketika lahir ditinggalkan di bumi. Awalnya Dewa Astula tidak percaya, betapa beliau sangat menginginkan puteranya tersebut setelah dengan sabar melewati kelahiran demi kelahiran 14 puterinya. Doanya tersebut akhirnya terkabul di angka 15. Namun, menurut Dewi Aruna tidak ada pilihan lain. Kesialan yang dibawa putera mahkota harus disinggahkan ke bumi agar tidak membawa kesialan bagi kerajaan Astula di langit.

Itulah awal ceritanya, aku dipanggil Dewa Astula. Aku adalah pendamping terbaik diantara ribuan pendamping dan tugasku adalah menjaga dan memastikan bahwa putera Dewa Astula, Dewa Balakosa, bisa menemukan rahim seorang perempuan untuk bersemayam. Karena bila tidak menemukan selama 3 hari, maka Dewa Balakosa akan berangsur-angsur sirna karena energinya disedot oleh energi inti bumi. 

Ini adalah hari pertama kami turun ke bumi bersama tetesan hujan. Aku mengamati Dewa Balakosa yang masih merah. Dia terlihat sangat tampan dan tenang. Kami mendarat di tumpukan sampah yang menggunung. Baunya luar biasa memutarbalikkan isi perut. Tetapi Dewa Balakosa tidak terpengaruh, di dalam gelembung yang mengambang dia tertidur pulas. Kupandangi kakiku yang transparan menapak di atas tumpukan sampah yang berlendir dan ujung ekorku menempel pada gelembung yang berisi Dewa Balakosa, kemanapun aku bergerak gelembung tersebut tak akan lepas dari ekorku selama energi hidupnya masih ada. Dan biasanya energi hidup rata-rata bayi dewa tidak lebih dari  72 jam.

(Bersambung)
 

(c)2009 Mardiana Kappara . Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger